Langsung ke konten utama

#CatatanRamadhan : Perbaiki Tujuan, Cara dan Faktor Eksternal Puasa Kita

Memasuki bulan Ramadhan, ayat yang paling laris manis dibacakan hampir di setiap moment ceramah keagamaan adalah ayat yang tertera dalam surah al Baqarah 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum, agar kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.”

Bila kita memperhatikan akhir ayat di atas, tegas menyebutkan bahwa ending dari puasa itu agar mereka yang berpuasa menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Sedangkan sarana penghantarnya adalah melalui puasa sebulan lamanya. Ini ibarat orang yang berolahraga secara rutin dengan mengangkat barbel sebagai sarana untuk mencapai bentuk tubuh yang diinginkan.
Dalam melakukannya, seorang binaragawan tidak sekedar mengangkat beban berat secara rutin, tetapi dibutuhkan beberapa hal agar olahraga tersebut benar-benar bisa menghantarkan pada bentuk tubuhnya yang sixpack. Sedangkan seorang buruh bangunan atau buruh angkut pelabuhan, mereka secara rutin mengangkat beban berat, namun mengangkatnya tidak menghantarkan pada bentuk tubuh, seperti mereka yang berolahraga angkat barbel. Padahal mereka sama-sama mengangkat beban berat, mereka juga melakukannya secara rutin, namun tetap saja hasilnya berbeda.
Secara sederhana, perbedaan hasil yang didapatkan bisa di identifikasi dari tujuan, cara, dan faktor eksternal. Para buruh melakukan pekerjaan tersebut bukan bertujuan membentuk body ala binaragawan melainkan untuk memperoleh uang dengan perkerjaan tersebut, sedangkan mereka yang rutin berolahraga memang bertujuan untuk membentuk tubuh. Karena para buruh tadi tidak bertujuan membentuk tubuhnya, maka rutinitas mengangkut beban berat tersebut dilakukan dengan sembarang cara, yang terpenting bebannya bisa dipindahkan, sedangkan binaragawan melakukannya dengan cara tertentu yang memperhatikan efek terhadap bentuk-bentuk tubuh yang diinginkan (tujuan tadi). Dan yang terakhir adalah faktor eksternal, contoh dalam hal pola konsumsi, jika buruh melakukannya sekedar untuk memenuhi lapar dan dahaga saja, maka para binaragawan mengkonsumsi makan dan minum dengan aturan tertentu, misalnya makanan yang tidak berlemak, minum telur secara rutin, dll. Alhasil, keduanya menunjukkan perbadaan capaian dikarenakan tujuan, cara dan pola konsumsinya memang berbeda, kendati keduanya sama-sama melakukan kegiatan mengangkat beban berat secara rutin.
Sama halnya dengan berpuasa itu sendiri, tidak semua orang yang menahan lapar dan dahaga bisa meraih taqwa. Mengapa? Karena tujuan, cara berpuasa dan faktor eksternalnya tidaklah sama. Untuk lebih memudahkan pemahaman kita, berikut ini saya mencoba untuk menjabarkannya lebih lanjut.
Jika ada 2 orang yang sama-sama sedang menahan lapar dan dahaga, tapi masing-masing dari keduanya memiliki tujuan, cara dan faktor eksternal yang mempengaruhi berbeda, maka tentu outputnya juga tentu akan berbeda pula.
Orang pertama menahan lapar dan dahaga memiliki #tujuan sedari awal bukan untuk meraih taqwa, baginya puasa itu adalah tradisi, ikut trand, atau mungkin malu bila ia tidak puasa. Karena tujuannya bukan untuk meraih taqwa, maka #cara dalam menjalankan puasa itu sekedarnya saja. Sekedar bagaimana ia menahan lapar dan dahaga dari imsak (menahan) hingga ifthar (berbuka). Dia tidak pernah memperhatikan perbuatan-perbuatan yang bisa berefek hilangnya potensi ketaqwaan dalam dirinya, karena memang ia berpuasa tidak untuk itu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroni)

Wajar saja bila mendapati orang puasa, yang amarahnya bisa meledak-ledak seketika, omongannya tidak pernah luput dari menghibah orang lain, menceritakan fitnah atas saudaranya sendiri, berpacaran, culas dalam berjual beli, bertransaksi riba. Semua hal ini menjadi tidak difikirkan olehnya, karena yang terpenting adalah ia bisa menahan lapar dan dahaga saja, tentu dengan cara tidak makan dan tidak minum di siang hari.
Orang-orang seperti ini sepertinya agak sulit untuk benar-benar menjadi orang bertaqwa di penghujung ramadhan nantinya, alih-alih bertaqwa, yang ada adalah terus saja melanggengkan maksiat-maksiat yang diperbuat saat bulan ramadhan, terlebih di luar bulan ramadhan. Kondisi ini diperparah dengan #faktorEksternal yang ada. Bisa dibayangkan hari ini, lingkungan keluarga kita boleh dikatakan tidak kebanyakan belum memiliki frekwensi taqwa, bisa jadi tidak semua anggota keluarga berpuasa lantaran masih menyepelehkan puasa itu sendiri. Tidak ada madrasah dalam keluarga, yang mendidik setiap anggota keluarga untuk menjadi pribadi yang bertaqwa kepada Allah SWT, yang terjadi malah didikan yang berorientasi pada pencapaian materi setinggi-tingginya.
Di lingkungan masyarakat juga demikian adanya, fungsi untuk saling mengingatkan pada yang makruf dan mencegah pada yang mungkar hampir-hampir sulit sekali kita dapatkan. Sederhananya, pernahkah Anda melihat pasangan muda mudi yang lagi di mabuk cinta sedang berpelukan dengan mesranya, di tegur oleh yang menyaksikan perbuatan maksiat mereka?!. Faktor eksternal berikutnya yang ikut melengkapi adalah negara yang memang tidak pernah berfikir bagaimana agar rakyatnya menjadi pribadi yang bertaqwa, maka lumrah saja jika segala bentuk kemaksiatan mubah terjadi dalam ruang lingkup negara kita saat ini.
Sedangkan orang kedua yang menahan lapar dan dahaga yang memiliki #tujuan untuk meraih taqwa, maka ia senantiasa terpaut hatinya dengan Allah SWT, memikirkan segalanya dalam kapasitansinya sebagai orang yang berpuasa. Mulai dari malam pertama ramadhan, di siang harinya, hingga ramadahan berakhir, semakin terjadi peningkatan kualitas puasa. Maka kita akan mendapati #cara orang kedua ini dalam menjalani puasa benar-benar hebat.
Malam harinya hidup dengan shalat tarawih, shalat tahajjud, shalat taubat, dzikrullah, berinteraksi dengan qur’an. Di siang hari, ia begitu bersemangat mengerjakan amanah-amanahnya sebagai karyawan, memikirkan usahanya jika ia seorang pengusaha, semua itu dilakukan tanpa pernah berlepas dari syariah. Pekerjaannya adalah halal, usahanya adalah terbebas dari praktik yang keliru dalam pandangan syariah. Benar-benar ia mengejawantahkan syariah dalam kehidupannya sehari-hari.
Maka yang terfikir olehnya tidak sebatas bagaimana bisa mempertahankan diri agar tidak makan dan minum saja, tapi merenungi setiap hal bahwa mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang, kemudian yang senantiasa terdorong untuk melakukan, memperbanyak dan meningkatkan kualitas perbuatan yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia begitu care mana perbuatan yang menyebabkan berkurangnya derajat ketaqwaannya dan mana yang menjadikan taqwanya terus menanjak, termasuk perkara kecil namun penting adalah menahan marah.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Lalu yang terakhir adalah #faktorEksternalnya, karena ia menginginkan taqwa-nya berlangsung terus menerus, maka ia mewarnai lingkungan keluarganya dengan nuansa dakwah, ia berinteraksi dengan lingkungan masyarakat yang support dengan ketaqwaannya, lalu berupaya bersama kelompok masyarakat yang terus berjuang untuk mengubah kondisi yang support pada kemaksiatan menjadi support pada keimanan dan ketaqwaan, yakni tegaknya syariah dan khilafah.
Walhasil, bila kita menginginkan benar-benar bertaqwa setelah berpuasa selama sebulan penuh, maka kita harus memperbaiki #Tujuan kita perpuasa, lalu menempuh #cara yang bisa mengantarkan kita pada ketaqwaan, serta berinteraksi, membentuk dan mengubah #FaktorEksternal yang ada agar senantiasa sejalan dengan ketaqwaan kita.
Selamat berpuasa..!
By |June 19th, 2015|Catatan Rudini 
http://www.dpsi.or.id/2015/06/19/perbaiki-tujuan-cara-dan-faktoreksternal-dalam-berpuasa/

Komentar

Postingan Populer